Moorissa Tjokro: WNI yang menjadi Autopilot Software Engineer Tesla

Amerika, kerjawoow.com Moorissa Tjokro, seorang Autopilot Software Engineer berusia 26 tahun, telah menjadi sorotan sebagai salah satu dari hanya enam wanita yang bekerja di perusahaan Tesla di California. Profesi yang ditekuninya, Autopilot Software Engineer, masih jarang diisi oleh perempuan. Baru-baru ini, Moorissa terlibat dalam pengembangan fitur swakemudi atau Full-Self-Driving untuk mobil Tesla. Fitur inovatif ini, saat ini tersedia secara terbatas bagi pengguna Tesla di Amerika Serikat, merupakan hasil dari kerja keras Moorissa dan timnya.
Sebagai seorang Autopilot Software Engineer, Moorissa menjelaskan bahwa tugasnya melibatkan aspek penting seperti computer vision. Dia bertanggung jawab memastikan mobil dapat “melihat” dan mendeteksi lingkungan sekitarnya dengan akurat. Mulai dari mengidentifikasi mobil di depan, sampai benda-benda di sekitar jalan, Moorissa dan timnya merencanakan perilaku mobil, termasuk berbelok ke kanan atau kiri, tanpa perlu intervensi pengemudi.

Moorissa bergabung dengan Tesla sejak Desember 2018, awalnya sebagai Data Scientist, sebelum akhirnya dipercaya menjadi Autopilot Software Engineer. Perannya meliputi evaluasi perangkat lunak autopilot, pengujian kinerja mobil, dan mencari cara untuk meningkatkan keamanan serta kinerjanya. Moorissa menyatakan bahwa pengembangan fitur ini adalah salah satu proyek terbesar Tesla, yang merupakan tingkatan tertinggi dari sistem autopilot di mana pengemudi tidak lagi perlu menggunakan pedal gas atau rem.
Namun, proses penggarapan fitur ini tidaklah mudah. Moorissa mengakui bahwa itu memakan banyak waktu dan tenaga, dengan jam kerja mencapai 60-70 jam seminggu. Meskipun belum pernah berinteraksi langsung dengan CEO Elon Musk, banyak pekerjaan Moorissa yang langsung diserahkan kepadanya atau dipresentasikan kepadanya.
Moorissa juga didukung dengan mobil Tesla yang dapat digunakan sehari-hari untuk melakukan pengujian perangkat lunak. Pengalaman akademis Moorissa juga mengesankan. Dia menerima beasiswa Wilson and Shannon Technology saat berusia 16 tahun untuk kuliah di Seattle Central College. Kemudian, setelah meraih gelar Associate Degree di bidang sains, Moorissa melanjutkan studi S1 di Georgia Institute of Technology dan S2 di Columbia University, meraih berbagai penghargaan dalam kompetisi Data Science.
Di tempat kerjanya, Tesla, hanya ada enam Autopilot Engineer perempuan dari total 110 Autopilot Engineer. Moorissa menganggap kurangnya panutan perempuan di dunia STEM sebagai “tantangan yang paling besar” yang mempengaruhi motivasi perempuan untuk mencapai posisi eksekutif, terutama di industri teknologi dan otomotif.

Meskipun demikian, Moorissa merasa beruntung karena tidak pernah mengalami diskriminasi secara langsung dalam lingkungan kerja yang didominasi oleh laki-laki. Dia juga menyoroti bagaimana perempuan cenderung lebih “nurut” dan mengiyakan, mungkin karena budaya yang ia bawa dari Indonesia.
Keluarganya, terutama ayahnya, adalah sumber inspirasi terbesar Moorissa dalam memilih karier ini. Ayahnya adalah seorang insinyur elektrik dan entrepreneur yang memberinya pandangan positif terhadap dunia teknik dan tantangannya.
Dalam meraih cita-citanya, Moorissa mendorong untuk mengikuti kata hati. Dia mengatakan bahwa walaupun banyak orang mungkin tidak setuju dengan keputusan yang diambil, yang terpenting adalah mengikuti kata hati karena itu tidak akan mengecewakan. Moorissa berharap untuk dapat membangun yayasan di masa depan yang bertujuan untuk memberantas kemiskinan di Indonesia, sebagai bagian dari kontribusinya dalam memanfaatkan keahliannya untuk hal yang lebih besar. (*)










