BisnisInternasional

Tupperware Bangkrut: Utang Menggunung, Penjualan Merosot, dan Generikisasi Mereknya Membawa Dampak Fatal!

Tupperware Indonesia

Bisnis, Kerjawoow.com – Kabar mengenai Tupperware bangkrut sangat mengejutkan semua orang. Tupperware produsen wadah makanan ikonik asal Amerika Serikat, akhirnya menyatakan bangkrut setelah di didera berjuta masalah.

Setelah bertahun-tahun berjuang dengan penurunan penjualan dan terlilit utang sebesar 812 juta dolar AS, Tupperware secara resmi mengajukan perlindungan kebangkrutan di Pengadilan Urusan Kebangkrutan Amerika Serikat Distrik Delaware.

Kondisi keuangan perusahaan terus memburuk sejak pandemi, dan tantangan makroekonomi memperparah situasi menyebabkan Tupperware bangkrut.

Dalam siaran pers yang dikutip dari Kompas.id, Tupperware Group dan anak-anak usahanya menyatakan kebangkrutan secara sukarela, menandai akhir dari era produk yang selama ini mendominasi dapur-dapur di seluruh dunia.

Salah satu faktor utama yang berperan dalam kejatuhan Tupperware adalah fenomena generikisasi merek. Dilansir dari Wall Street Journal, istilah ini merujuk pada situasi di mana sebuah merek menjadi begitu terkenal hingga menjadi istilah umum untuk produk sejenis, meski produk itu bukan dari merek asli.

Sebagai contoh, banyak orang menggunakan kata “Tupperware” untuk merujuk pada wadah makanan resealable, meskipun produk tersebut bukan buatan Tupperware.

Fenomena ini, meskipun terlihat sebagai bukti popularitas, justru membawa masalah besar bagi perusahaan.

Generikisasi ini mengaburkan identitas merek, membuat Tupperware kehilangan pangsa pasar yang signifikan di tengah persaingan ketat dengan produk lain yang serupa namun lebih murah.

Hutang dan Penjualan Terjun Bebas Penyebab Tupperware Bangkrut

Sejak beberapa tahun terakhir, Tupperware memang mengalami penurunan penjualan drastis. Pandemi memperburuk kondisi ini, memaksa perusahaan untuk menghadapi tantangan finansial yang semakin berat.

Selain itu, utang yang mencapai 812 juta dolar AS menjadi beban besar yang tidak mampu diselesaikan oleh perusahaan.

Menurut para pakar, utang Tupperware yang terus membengkak tanpa ada strategi yang jelas untuk memperbaiki kondisi keuangan perusahaan, menjadi salah satu penyebab utama kebangkrutan ini.

Banyak investor mulai kehilangan kepercayaan, dan penurunan pendapatan akibat kompetisi semakin memperburuk situasi.

Meski berada di ambang kebangkrutan, Tupperware tetap menjadi ikon di hati banyak orang, terutama para ibu-ibu rumah tangga yang pernah mengandalkan wadah tersebut untuk menyimpan makanan atau bahkan menjadikannya usaha sampingan.

Laurie Kahn, pembuat film dokumenter “Tupperware!” yang memenangkan Penghargaan Peabody pada tahun 2004, mengatakan bahwa ia tidak terkejut dengan berita yang menyatakan Tupperware bangkrut. “Saya tahu itu mungkin akan terjadi karena masalah mereka baru-baru ini,” ujarnya, meski tetap merasa sedih dengan perkembangan tersebut.

Kasus Tupperware memberikan pelajaran penting bagi perusahaan-perusahaan lain yang berada dalam posisi serupa. Generikisasi bisa menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan sebuah merek jika tidak ditangani dengan baik.

Seperti yang dijelaskan oleh Charles R. Taylor, profesor pemasaran dan hukum bisnis di Sekolah Bisnis Universitas Villanova, banyak perusahaan besar berusaha menghindari generikisasi dengan tidak menggunakan nama merek mereka sebagai kata benda dalam materi pemasaran. Contohnya adalah Kleenex, yang selalu disebut sebagai Kleenex Tissues, atau Crayola yang selalu disebut Crayola Crayons.

Sayangnya, Tupperware terlambat dalam menerapkan strategi ini. Persaingan dari merek lain yang memproduksi wadah serupa, namun lebih murah, membuat Tupperware kehilangan banyak konsumennya.

Meski Tupperware telah resmi bangkrut, warisan mereknya akan tetap hidup. Nama Tupperware telah menjadi bagian dari leksikon budaya, dan orang-orang masih akan menyebut wadah makanan sebagai Tupperware, bahkan jika produk tersebut berasal dari merek lain.

Namun, bagi perusahaan, kebangkrutan ini menjadi tanda bahwa strategi bisnis mereka harus direvisi total jika ingin tetap relevan di pasar yang semakin kompetitif. Perlu ada langkah inovatif untuk memperbaiki kondisi keuangan dan mengembalikan daya saing produk mereka.(*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button